Monday, August 15, 2016

BAB 2


Diana sedang memandang Ray dengan takjub. Ia sendiri sangat cantik, dandanannya pun menarik. Tetapi ia masih tidak percaya bagaimana seorang setampan dan sekeren ini mau mengajaknya makan siang.

“Kalo gue cerita ke temen-temen gue bahwa gue makan siang ama elo, mereka pasti gak ada yang percaya,” tukas Diana sambil tertawa renyah.
“Gak percaya kalo wanita secantik kamu ngajak gue makan? Tentu saja. Di seluruh dunia gak bakalan ada yang percaya,” tawa Ray santai.

Diana ingin menyanggah. Ia tahu bahwa Ray terbalik mengartikan maksudnya. Tapi tentu saja sebagai seorang wanita, ia sangat senang saat dipuji cantik. “Ih menghina banget ngatain gue cantik. Iya..iya..gue tau gue jelek. Gak usah nyindir gitu kaleee…,”

Ray tertawa, kebetulan seorang pelayan datang mengantarkan makanan, Ray lalu bertanya kepadanya, “Mas, kalo menurut mas, saya beruntung banget gak sih, bisa duduk dengan seorang wanita cantik kayak ‘beliau’ ini?”

Si pelayan hanya tersenyum dan berkata, “Beruntung sekali pak.”

See?” tanya Ray pada Diana.

Yang ditanya hanya tertawa dan wajahnya bersemu merah. Kulitnya yang putih membuat rona merah itu semakin jelas terlihat. “iiiiih, bisa aja kamu….., ah…” ia mencubit pergelangan Ray dengan manja. “Mas jangan ikut-ikutan jadi tukang gombal ah,” kata Diana pada pelayan itu.

Setelah sang pelayan berlalu, Ray bertanya, “Suami kamu kapan pulang?”

“Uh, males banget ah bahas dia. Kenapa sih harus bahas itu sekarang?”

“Supaya aku tau kapan aja hari di mana aku bisa ketemu kamu…..,” perkataan itu pelan. Namun Ray mengatakannya dengan penuh kesungguhan dan tatapan mata yang dalam. Tatapan yang akan melumpuhkan seorang wanita yang hatinya pun sekeras batu karang.

“Ohh…, gitu….” Diana kembali tersenyum. “Katanya sih dua minggu. Tapi gak tau deh, dia kalo pergi selalu lama.”

Ray hanya mengangguk. Segala gerak gerik dan bahasanya tubuhnya sudah mengalir dengan luwes. Ia bisa memuji seorang wanita tanpa harus memujinya. Cukup dengan caranya menatap, mengangguk, atau menggerakkan tangan, seorang wanita akan merasa dirinyaspecial jika Ray melakukannya.

Pandangan mata yang demikian halus, namun demikian hangat. Diana merasa seolah-olah ia berhadapan dengan malaikat dan iblis sekaligus. Ia tidak merasa risih. Ia justru ingin dipandang selamanya seperti ini oleh Ray. Ia merasa seolah-olah Ray telah menelanjanginya dengan perlahan-lahan, dengan sentuhan yang lembut, dengan sinar mata teduh yang menggelora.

Tak terasa Diana menarik nafasnya. Desahan nafas yang dibuat wanita jika mereka telah menapaki puncak kenikmatan di dalam cinta.

“Seluruh wanita, adalah sebuah teka-teki yang harus dipecahkan. Misteri yang tak ada awal dan tak ada ujung,” kata Ray.

“Misteri apa yang kamu lihat dari aku?”

Sudah tak ada lagi “Elo” dan “Gue”. Berganti “Aku” dan “Kamu”. Perasaan memang dapat merubah kata-kata.

Ray sebenarnya dapat mengungkapkan banyak hal dengan sekali memandang. Ia bisa mengatakan bahwa ia tahu jika jendela kamar Diana pasti berada di sisi kiri meja riasnya, atau lipstik yang sekarang dipakai wanita itu adalah sebuah lipstik yang berbeda dengan yang biasanya ia pakai, atau bahwa Diana baru saja memarahi pembantunya tadi pagi. Tapi ia tidak ingin merusak suasana romantis ini.

“Jika aku menceritakannya, bukankah hal itu gak akan jadi misteri lagi?”

“Idih…., sukanya main rahasia-rahasiaan,” tukas Diana berlagak sebel.

“Kalo mau tau, kamu harus ikut aku,” kata Ray sambil tersenyum hangat.

“Kemana?”

“Ke atas. Aku nyewa tempat di Kondo ini.”

“Beneran?”

“Sebenarnya dua di sini. Eh, makan dulu yuk!”
Makanan enak dan wanita cantik adalah dua hal yang paling disukai Ray.

“Sejak kapan kamu tinggal di sini?” tanya Diana.

“Aku nyewanya udah lama. Khusus buat temen-temen yang datang ke Jakarta. Aku gak bisa bawa mereka nginep di rumah, karena adikku gak nyaman kalo ada tamu. Jadinya nyewa di sini. Daripada teman-teman nyewa hotel atau penginapan,” jelas Ray.

“Ih kamu baik banget, mikirin temen sampai segitunya. Trus kondo ini kamu sewa seterusnya biarpun gak tinggal di sini?”

Ray hanya mengangguk.

“Trus nyewa sampai 2?”

“Kalo bisa 2 kenapa cuma 1?” Ray tertawa sambil membuat mimik wajah lucu.

“Cowok emang gitu ya. Kalo bisa kawin 2, kenapa cuma kawin 1?” kata Diana sambil tertawa sinis.

“Salah. Kalo gak perlu dinikahin, kenapa harus dinikahin? Hahahahahah.”

“Ehhhh, nakal yaaaaaa!”

Mereka berdua tertawa bersama.

“Aku tuh tau, ini tempat kamu sewa bukan buat teman-teman. Tapi buat nyembunyiin cewek-cewek. Soalnya kamu takut ama istri kamu yang galak di rumah,” tukas Diana.

“Aku belum nikah, kok,” jelas Ray.

“Bo’ong banget!”

“Kan aku udah bilang tadi, kalo gak perlu dinikahin kenapa harus dinikahin?”

“Emang kenapa gak mau nikah?” tanya Diana penasaran.

“Emang kenapa harus nikah?” Ray malah bertanya balik.

“Kamu gak pengen berkeluarga? Tiap saat ada istri yang merhatiin, ada yang nyiapin makan saat kamu pergi dan pulang kerja. Ada temen ngobrol tentang apa saja….,”

Ray cuma tertawa dan menjawab, “Semua itu bisa aku dapetin tanpa harus menikah. Kalo pengen makan ya tinggal ke restoran, pasti ada yang nyiapin makan. Kalo nikah cuma supaya ada yang nyuciin baju, wah, laundry banyak bertebaran. Emang mau nyari istri apa mau nyari pembantu?”

“Hahaha ada benernya sih. Tapi masa kamu gak butuh sex? Atau jangan-jangan kamu homo ya?”

“Ibu Diana yang cantik dan baik hati ini hidup di jaman kapan sebenarnya? Emang sejak kapan orang yang hidup di jaman ini harus nikah hanya supaya bisa memuaskan kebutuhan itu?”

“Hmmmm, bener juga sih. Trus kamu gak pengen punya anak? Meneruskan keturunan?” tanya Diana lagi.

“Jika aku punya anak, kayaknya bukan aku yang ngerawat dan mendidik anak, justru si anak yang ntar ngerawat dan mendidik aku. Hahahaha,”

“Kok bisa?”

“Tadi kata kamu aku ini nakal. Orang nakal cuma akan menghasilkan keturunan yang nakal juga. Ntar dunia tambah rusak. Jangan deh.”

Makan siang sudah selesai, mereka menikmati sedikit dessert sambil mengobrol tentang hal-hal kecil.

“Aku perhatiin tadi pilihan makanan kamu sehat banget. Pantes badannya six pack gitu kayaknya,” kata Diana.

“Ditambah sedikit olah raga sih,” jawab Ray sambil meminum segelas susu segar.

“Serem-serem, eh minumnya susu,” tawa Diana.

“Aku suka susu,” kata Ray sambil memandang bibir Diana. Lalu memandang lehernya. Pandangan yang telah dilatih dan dipraktekkannya ribuan bahkan mungkin jutaan kali. Ray sangat percaya diri dengan sinar matanya.

“Mmm…..,” jika perempuan tidak tahu apa yang harus ia katakan, memang biasanya cuma suara seperti ini yang keluar dari mulutnya.

Ray membayar makanan dengan kartu kreditnya. Lalu dengan pandangan wajah bercahaya ia berkata kepada Diana, “Aku harus ke atas. Lihat-lihat kalo ada beberapa kebutuhan yang kurang. Ada teman yang mau mampir lusa soalnya. Kalo kamucapek dengan pengen istirahat, nih ada tempat satu lagi. Bawa aja kuncinya.”

“Eh…., makasih banget udah ngajak makan, tapi…..”

See you!” Ray segera menghilang ke dalam lift.

Ia telah menanamkan bibit-bibitnya sejak tadi, tentu saja ia akan menuai hasilnya sebentar lagi.

Untuk beberapa saat Diana ragu, tapi akhirnya ia memutuskan untuk naik ke apartemen itu. Tempat tinggal laki-laki biasanya memang menarik untuk diperhatikan. Dari situ ia bisa menilai orang seperti apa laki-laki itu.

Ia membuka kunci kamar dan masuk sambil sedikit celingukan. Tahu-tahunya di lihatnya Ray sedang duduk bersila sambil bertelanjang dada dan memejamkan mata. Tattoo di tubuhnya tampak indah bercahaya. Laki-laki bertubuh sempurna dan tattoo yang membuatnya terlihat sangat seksi. Tak terasa tangan Diana menutup pintu dari dalam dan memutar kunci.

“Aku…salah kamar.. ,” katanya.

Ray membuka mata dan tersenyum, “Tidak. Aku yang salah ngasih kunci. Sini duduk di sini. Aku lagi latihan yoga.”

Wajahnya terlalu tampan, tubuhnya terlalu menarik, pandangan matanya terlalu menjarah jiwa. Diana tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ray menarik tangannya, jatuh ke dalam pangkuan. Begitu Diana terduduk di dalam pangkuan itu, segala keraguan dan kepedihan hatinya menghilang. Yang ada hanyalah kebahagiaan. Kebahagiaan yang pernah hilang namun ditemukannya lagi.

Ray mencium bibirnya dengan lembut. Tangannya yang kokoh memeluk Diana dengan mesranya. Sentuhannya begitu lembut, seolah mengerti tempat-tempat yang mana yang harus disentuh, tanpa membuat perempuan merasa bersalah dan berdosa.

Diana menyerah. Sejak awal ia memang telah menyerah. Tetapi Ray tidak langsung menangkapnya. Lelaki itu mempermainkannya dulu. Bagaikan kucing dengan bola benang. Hal itu menyiksa namun sungguh nikmat.

Bagi perempuan, kenikmatan dan siksaan bedanya sangat tipis.Laki-laki yang mampu melakukannya hanyalah laki-laki yang berpengalaman. Laki-laki yang tahu benar bagaimana memperlakukan perempuan. Dengan lembut dan kasar pada waktu yang bersamaan. Dengan tawa dan tangis pada saat yang sama. Dengan menyentuh dan tidak menyentuh pada saat yang sama.

Bajunya telah tanggal. Tak ada sehelai benang pun di tubuh Diana, dan Ray memperlakukannya seperti seorang musisi mempermainkan instrumennya. Seperti seorang pelukis menggunakan kuasnya. Cinta dan perasaan, nafsu dan keinginan. Wanita ingin memiliki semuanya. Ingin merasakan semuanya. Ray memberikannya. Ia kokoh namun lembut. Ia panas namun dingin. Ia bagai kanak-kanak namun sepenuhnya dewasa.

Nafas memburu. Seorang wanita berteriak keras pada puncaknya. Segala mimpi, keinginan, cinta, perasaan, harapan, kenangan, semuanya menjadi satu. Diana terkulai lemas. Kau dapat melakukan apapun terhadap perempuan yang beradadi saat-saat seperti ini.

“Aku ingin kita bercinta di rumahmu,” kata Ray sambil menatap wanita yang berada di pelukannya dengan sungguh-sungguh.

“Kau gila! Ada suamiku, ada anak-anak, ada satpam, ada pembantu…..,”

Kata-kata Diana tidak selesai karena Ray telah mencium bibirnya dengan penuh gelora. Lalu kata Ray, “Semakin berbahaya sebuah tempat, maka tempat itu semakin aman.”

Tubuhnya kini kembali kokoh. Pelukannya menguat. Ciumannya semakin dalam,

“Eh, kamu mau lagi?”

“Hari ini kamu milikku seutuhnya. Kamu akan dengerin aku. Permintaanku. Keinginanku. Dan aku akan dengerin kamu, permintaan kamu, dan keinginan kamu.”

Ini bukan permintaan. Ini adalah perintah. Dan Diana tunduk sepenuhnya pada perintah ini. Lelaki gagah yang bisa menguasainya.

Dan cinta kembali menggelora.

oOo


Entah berapa kali mereka bercinta.

Diana menyerah. Ia kini tertidur pulas. Ray memijitinya dengan sebuah pijitan nyaman yang membuatnya terlena. Tanpa diketahui Diana, Ray telah menekan titik-titik akupuntur yang membuatnya tidur sangat lelap. Jika Ray tidak menekan titik lain untuk membangunkannya, perempuan ini pasti akan tidur seharian.

Begitu memastikan bahwa Diana telah terlelap, Ray segera bergerak. Ia memeriksa isi tas Diana dengan hati-hati. Ia membuka dompet dan melihat isinya. Beberapa kartu kredit, kartu identitas, SIM, kartu keanggotaan pusat kebugaran, dan lain-lain. Dari sini saja, sudah banyak pengetahuan tentang Diana yang ia dapatkan.

Ia lalu memeriksanya iphone milik Diana. Ada password yang harus ia pecahkan sebelum bisa melihat isi iPhone itu. Sebuah password berupa titik-titik yang harus dihubungkan untuk membuat garis. Ray memiringkan iphone itu agar cahaya dapat menimpa permukaan layar. Dengan sedikit memperhatikan secara seksama, terlihat bekas-bekas jari di sana. Ada cukup banyak bekas jari pada layar handphone seseorang. Tetapi asalkan kau teliti, kau bisa membeda-bedakan bekas-bekas ini. Dalam sekejap Ray sudah berhasil memecahkan titik-titik mana yang harus dihubungkannya.

Ia memeriksa inox, message, BBM, Whatsapp, email, dan segala hal di dalamnya. Begitu banyak informasi yang didapatkannya mengenai wanita ini. Seperti yang diketahuinya, kehidupan cinta Diana memang sedang dalam masalah. Suaminya berselingkuh, Diana sendiri pun berselingkuh dengan beberapa orang-orang. Hal ini sudah dapat diduganya tanpa harus memperhatikan isi iPhone wanita itu.

Yang ingin dicarinya adalah jadwal-jadwal, daftar sahabat, kebiasaan-kebiasaan, dan rahasia penting lainnya. Cukup lama Ray menikmati membaca semua ini. Setelah semua informasi yang dicarinya sudah ia dapatkan, dengan hati-hati ia memasukkan kembali iPhone, dompet, dan benda lainnya ke dalam tas dengan rapi. Jika Diana membuka tasnya kembali, ia tak akan tahu bahwa segala isi tasnya sudah diperiksa orang lain.

Setelah segala pekerjaannya selesai, Ray lalu mandi. Ia mengganti baju dan sedikit “berdandan”. Penampilan baginya adalah senjata nomer 1. Juga menambah rasa percaya diri seseorang. Ia sangat heran dengan kaum lelaki yang tidak mau memperhatikan penampilan. Rapi, wangi, namun harus dalam takaran yang pas. Bajunya pun terkesan modis tanpa harus terlihat berlebihan.

Saat selesai dan telah siap untuk pergi, ia memijit sebuah titik di kaki Diana dengan perlahan-lahan, dalam satu atau dua menit, wanita itu akhirnya terbangun.

“Sayang, aku pergi dulu,” kata Ray sambil mencium kening Diana.

“Mau kemana?”

“Ada urusan bisnis sebentar,” Ray lalu mencium bibir Diana dengan penuh kemesraan.

“Jangaaan, aku bau,” kata Diana. Meskipun begitu ia tidak melepaskan pagutan bibirnya.

“Aku akan hubungi kamu,” kata Ray.

“Iya…, gak boleh lupa hubungi aku loh ya,” desah Diana manja.

Ray hanya tersenyum. Ia pergi.

Diana memandangnya dari jauh dengan mesra. Hatinya telah sepenuhnya milik Ray.

Dari dalam Jaguarnya, Ray menghubungi Mara. Jakarta telah beranjak gelap inilah saat paling macet di kota metropolitan itu. Tapi terkadang Ray menikmatinya. Ia menikmati menyetir sambil melamun dan berpikir. Memperhatikan banyak hal yang terjadi di sekelilingnya saat macet.

“Kakak, pesanan kakak tadi tentang plat nomer motor Anton Handika sudah adek cek. Motor itu atas nama dia. Dari situ kita dapat alamat rumahnya.”

Ray memang meminta Mara untuk mencari detail tentang Anton Handika. Semalam ia sempat melihat plat nomer pemuda itu dan menggunakannya sebagai sumber informasi awal. Tebakannya betul. Motor itu dibeli atas nama Anton sendiri. Ini semakin mengarahkan kesimpulan bahwa lelaki ini sudah bekerja, dan mungkin tinggal jauh dari orang tuanya. Tetapi Ray belum mau mengambil kesimpulan. Ia masih harus mengetahui detail yang lain.

“Sudah coba menggunakan satelit untuk melihat lokasi dan keadaan rumahnya?”

“Belum. Masih nunggu koneksi tadi. Susah untuk membonceng server CIA. Adek sedang nyoba bonceng lewat servernya Rusia.”

“Oke gak papa. Pelan-pelan aja, sayang.”

“Kakak mau ke mana ini?”

“Mau jemput Ayla. Adek jangan telat makan ya!”

“Beres.”

Ayla Shinta adalah seorang artis sinetron pendatang baru yang namanya melesat karena sebuah sinteron remaja berjudul “Singa dan Perawan”. Rey sangat tidak suka menonton sinetron. Tapi tentu saja ia menyukai aktris-aktrisnya. Ia berkenalan dengan Ayla di sebuah kapal pesiar saat aktris muda nan cantik itu sedang liburan sendrian.

Saat Rey tiba di lokasi syuting, Ayla baru saja menyelesaikan scene terakhirnya. Rey dengan ramah menyapa beberapa kru yang dikenalnya. “Nyari Ayla ya? Tuh lagi makan di pojok,”kata salah seorang kru. Ray mengucapkan terima kasih dan segera menuju pojokan tempat Ayla berada.

“Heyyy, baru datang? Macet ya?” tanya Ayla dengan ramah. Ia menggenakan kaos kuning casual, dan celana jeans biru muda. Senyumnya manis sekali. Ray mengangguk sambil tersenyum, katanya, “udah,  makan dulu sana. Ngomong sampe gak jelas gitu.”

Ayla hanya merengut, tapi dalam hatinya merasa senang. Teman-teman aktris yang lain memandang Ray dengan kagum. Dibandingkan dengan semua aktor sinetron yang ada, Ray menang jauh dalam hal ketampanan.

“Eh, ada si ganteng!”

Ray kenal suara ini. Suara cempreng milik Denny Syailendra. Orangnya kecil, botak, dan agak kebancian-bancian. Ia termasuk orang paling penting dalam dunia sinteron Indonesia. Karena lelaki inilah yang mengorbitkan banyak artis melalui tangan dingin agency-nya.

“Halo oom,” sapa Ray ramah.

“Idih…., manggilnya oom. Emang kita oom-oom?”

Ray hanya tertawa.

“Kamu kapan ikut casting? Yakin deh pasti keterima. Setelah itu jadi terkenal dan punya fans jutaan orang loh,” tukas Denny Syailendra. Melihat Ray tidak menjawab, ia kembali menyambung, “Meskipun uangnya sedikit bagi kamu, nama tenar itu susah didapat loh.”

“Gak pengen tenar oom. Enakan juga gini. Bisa nyantai,” jawab Ray santai.

“Kebanyakan nyantai gak baik loh. Ntar karatan….,” Denny selalu menggunakan kata “loh” di hampir setiap kalimatnya.

“Apanya yang karatan, oom?” tawa Ray setengah menggoda.

“Ya itu, si ‘boy’ jadi karatan,” Denny Syailendra tertawa sendiri mendengar gurauannya yang tidak lucu. Ray pura-pura tertawa tapi tidak melanjutkan bergurau. Ia menoleh ke Ayla dan berkata, “Udah selesai syutingnya? Apa masih lanjut lagi?”

Ayla melengos, katanya, “Tadi kan gue disuruh diam dan ngabisin makan, ngapain sekarang ngajak ngobrol?”

“Dasar tukang ngambek,” tawa Ray sambil mengelus kepala Ayla lalu duduk di sebelahnya. Berhubung Ayla sedang berlagak ngambek, Ray menggunakan kesempatan ini untuk memperhatikan keadaan sekeliling. Banyak kru yang sedang beristirahat. Para artisnya ada yang bergabung dengan mereka sambil menikmati makanan yang sudah disiapkan. Artis yang lain sudah memasuki biliknya sendiri-sendiri, bersiap-siap untuk pulang.

Dunia sinteron yang glamour di dalam layar kaca, ternyata sederhana. Seperti pekerjaan pada umumnya. Tetapi kesederhanaan ini menyimpan berbagai misteri dan rahasia. Menyimpan duka yang menyedihkan dan menakutkan.
Justru karena itulah ia berada di sini.

Hampir 2 bulan yang lalu, seorang artis cantik yang bernama Keisha Vanya mati bunuh diri meloncat dari jendela apartemennya yang setinggi 30 lantai. Dari pemberitaan media massa, Ray merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ia kemudian memutuskan untuk menyusup ke dalam dunia keartisan ini dan menyelidiki secara langsung.

Ray memutuskan untuk mengikuti trip liburan bersama sebuah kapal pasar karena ia mendengar banyak artis yang ikut dalam pelayaran itu. Di sanalah ia berkenalan dengan Ayla, yang ternyata merupakan sahabat Keisha Vanya.

Dalam masa-masa penyelidikan itu, masih belum banyak kemajuan yang ia hasilkan. Kepolisian pun sangat ketat menutup rahasia ini. Mara telah mencoba meretas jaringan kepolisian, tetapi lucunya, jaringan cyber kepolisian negara ini begitu menyedihkan sehingga tidak cukup data yang tersedia di dalam jaringan itu. Satu-satunya cara adalah menyusup langsung ke markas kepolisian untuk mencuri datanya. Tapi resikonya terlalu besar.

“Heh, ngelamun aja, laper ya? Syukurin!” Ayla tahu-tahu menyenggol lengannya.

Jika seorang perempuan sedang berlagak sebal, maka cara terbaik adalah mendiamkannya. Pada akhirnya ia sendiri yang akan menyapamu. Rumus ini sangat dipahami betul oleh Ray.

“Ada orang sedang sibuk makan sambil sewot, gue mana berani ngajak ngobrol?” tawa Ray.

“Huh! Nyebelin terus dari tadi!” seru Ayla.

“Elo tuh yang lagi bad mood. Emang ada apa? Dimarahin sama sutradara ya?” bisik Ray pelan.

Ayla tidak menjawab. Di wajahnya ada bayang kesedihan. “Ntar aja gue cerita, yuk pulang,” katanya.

 Ray berdiri dan menggandeng tangan gadis itu. Ia tinggi semampai. Tubuhnya langsing dan kulitnya putih bersinar. Jika tersenyum ada sebuah gingsul kecil yang membuat wajahnya terlihat lebih manis. Mereka berdua memohon diri kepada para kru dan segera menujuJaguar hitam Ray yang diparkir di halaman.

Begitu mobil berjalan, Ayla mulai menangis sesenggukan.

“Eh, nangis?” kata Ray pelan. Ia mengambilkan tissue untuk gadis itu, dan berkata, “Maafin ya kalo becandaan gue rada kelewatan.”

Ayla menerima tissue itu dan membiarkan Ray mengelus-elus kepalanya. Selama ini elusan itulah yang menemaninya dalam kesedihan dan kesepiannya.

“Bukan. Bukan karena kamu,…….besok 40 harinya Keisha,” jelas Ayla sambil sesenggukan.

“Besok Ayla mau ke rumah Keisha? Ada tahlilan kan? Aku antarin ya?”

Ayla cuma mengangguk. Air matanya masih mengalir.

Ray sebisa mungkin menahan air matanya. Kematian dan tangisan adalah hal yang sangat dipahaminya dengan amat sangat dalam. Begitu sering ia kehilangan orang-orang yang ia cintai. Saat itu ia mengira hatinya akan mati atau mengeras. Tetapi justru hatinya semakin bertambah lembut.

Ia tahu tidak ada yang bisa ucapkan di saat Ayla sedang menangis. Jika perempuan ingin menangis, biarkan ia menangis. Peluklah ia dan tenangkan hatinya. Tetapi jangan larang ia menangis. Karena justru hanya tangisan yang mampu melegakan hatinya.

Ray meminggirkan mobilnya dan memeluk Ayla dengan lembut.

“Kenapa berhenti?” tanya si cantik ketika tangisannya sudah reda.

“Kenapa tidak boleh berhenti?” Ray menjawabnya dengan pertanyaan.

“Aku udah gak sedih kok, yuk jalan lagi,” tukas Ayla.

Ray tersenyum dan mengangguk. Ia segera menjalankan mobil dan melanjutkan perjalanan. Syuting malam itu dihentikan lebih cepat daripada biasanya, sehingga mereka pulang saat jalanan masih sedikit macet. Keadaan di dalam mobil cukup sunyi karena Ayla masih termenung, Ray akhirnya menyetel radio dan menikmati musik sambil memperhatikan jalan raya. Ia tahu Ayla tidak ingin diganggu dalam lamunannya.

“Kok diem aja sih?” tanya Ayla tiba-tiba.

“Lagi mikirin kamu….”

“Bo’ong banget ah. Ngapain mikirin aku, lah akunya ada di sini,”

“Justru itu hebatnya kamu. Bisa bikin orang mikirin kamu meskipun kamu ada di sini,” tukas Ray.

“Ah gombal!” tapi ia tertawa.

Ray tidak menjawab. Ia hanya memandang gadis itu dengan tatapan penuh sayang.

“Aku tuh heran ama kamu,” seru Ayla.

“Heran kenapa?”

“Kenapa kamu baik ama aku?”

“Emang kalo baikin orang harus pake alasan?”

“Kamu tuh pasti gitu, kalo ditanya malah balik nanya,” gerutu Ayla.

“Lah, emang ada peraturan negara yang bilang cuma kamu yang boleh nanya dan aku cuma boleh jawab?” tawa Ray.

“Udah ah gak boleh becanda. Aku nanya serius.”

Bagaimana ia menjawabnya? Segala kebaikan dan pendekatannya terhadap gadis cantik ini semata-mata hanya untuk membongkar kasus kematian Keisha. Jika kasus ini selesai, ia akan menghilang dari hidup gadis itu. Ray telah berungkali mengalami hal ini. Orang yang ia sakiti hatinya sudah tak dapat dihitung lagi. Tetapi ia terus melakukannya. Kebenaran memerlukan tumbal. Ia percaya itu. Meskipun demikian, toh hatinya tetap tercabik-cabik menyakiti mereka.

Terkadang dia yang paling kejam, justru cintanya malah amat dalam.

“Mungkin karena kamu juga baik ke aku,” kata Ray.

Sebuah jawaban yang menggantung namun juga berhenti sampai di situ.

“Kamu gak ada niat buruk ke aku kan? Maaf cuma nanya. Aku kerasa hubungan kita ini aneh.”

“Emang berapa kali aku nyakitin kamu, atau manfaatin kamu?” tanya Ray.

Ray tak pernah memanfaatkannya. Tidak pernah meminta uang darinya, malahan justru Ray lah yang keluar uang terus. Bahkan Ray tidak pernah melakukan hal tidak senonoh kepadanya. Sepanjang hidup Ayla, baru kali ini menemukan lelaki yang begitu “sempurna” seperti ini.

Tampan, kaya, lembut, penuh perhatian, humoris, cerdas, dan sopan.

Sesuatu yang begitu sempurna, biasanya tidak pernah nyata.

Perkataan itu selalu berdengung di benak Ayla saat ia memikirkan Ray. Meskipun masih muda, Ayla adalah wanita yang masih dapat berpikir saat jatuh cinta. Tidak banyak gadis seperti dirinya.

“Aku punya adik. Usianya beda 3 tahun dari aku. Karena sebuah kecelakaan, dia lumpuh. Masa depan yang gemilang cuma jadi sekedar harapan baginya. Kalo liat kamu, aku pasti inget adikku. Percaya deh aku gak punya niat buruk ama kamu,” tukas Ray.

“Oh? Kenapa kamu gak pernah cerita?”

“Ini sekarang cerita,” jawab Ray.

“Kok gak dari dulu?”

“Sebuah tragedi bukanlah hal yang gampang untuk diceritakan.”

Ini memang jawaban yang tepat.

“Aku pengen ketemu adik kamu, boleh?”

“Sebenarnya boleh banget. Sayangnya dia gak suka ketemu orang.”

Kembali keraguan timbul di hati Ayla. Apakah Ray hanya mengarang cerita untuk mendapatkan simpatinya?

“Tapi kamu boleh ngobrol ama dia,”

Ray memencet sebuah tombol. Layarnya menyala dan ia membuat sambungan telpon ke Mara.

“Halo kak!”

“Adek, aku lagi ama Ayla. Dia pengen kenalan ama kamu,” Ray memiringkan sebuah kamera kecil yang berada di bagian depan sebelah atas. Kamera itu lantas menyorot wajah Ayla.

“Halo selamat malam, kak” kaget juga Ayla akan hal ini.

“Halo. Wah, aku ketemu artis,” tukas Mara. “Aku Mara, adeknya kak Ray,”

“Kamu cantik banget,” puji Ayla tulus.

“Makasih, kamu juga cantik banget. Lagi ngapain ama kak Ray?”

“Baru pulang syuting. Ini lagi perjalanan pulang ke rumah,”

“Oooh. Ya udah. Titip pesan kak Ray kalo pulang bawain KFC ya. Lama banget gak makan KFC,” kata Mara.

“Okeee. Ini kak Ray,” kata Ayla sambil memberi tanda agar Ray berbicara dengan Mara.

Ray memiringkan kamera kembali ke posisi semula, lalu berkata, “Kakak pulang agak maleman nih. Ada yang mau diurus dulu. Ntar KFC-nya beres deh,”

“Okee lah kalau begitu. Adek mau browsing-browsing dulu. Ada tugas. Hehe. Bye kakak. Salam buat Ayla,”

“Bye.” Kata Ray sambil mematikan sambungan.

“Kalian berdua akrab banget, ya. Seneng liatnya,” kata Ayla.

“Yah. Itu karena kami berdua udah yatim piatu semenjak kecil. Setelah bokap-nyokap meninggal kami diasuh keluarga lain. Jadinya ya deket banget,”

“Oh begitu…...” Ayla tidak bisa berkata apa-apa. Terlalu banyak cerita yang ia dengar malam ini. Tapi sifat kewanitaannya yang penuh rasa penasaran membuatnya bertanya, “Kalian yatim piatu sejak umur berapa? Maaf ya, kalo gak mau jawab gak papa, kok.”

“Sejak aku umur 9, dan Mara 6 tahun,” jawab Ray pendek. Ia memang tidak ingin bercerita lebih jauh. “Udah mau nyampe nih, mau mampir makan atau nongkrong dulu gak?”

“Gak usah lah, aku masih kenyang. Lagian kamu juga ada acara katanya?”

“Iya. Tapi masih sempat kalo mau nongkrong dulu.”

“Mmmmm, gak usah deh. Aku istirahat aja. Besok aja yah. Kamu jadi nganterin aku, kan?”

“Jadi dong!”

Ray mengantar Nayla sampai ke depan pintu rumahnya. Ibunya yang membuka sendiri pintunya. “Eh, ada Ray. Yuk masuk!”

“Wah maaf banget tante, saya ada janjian ama teman. Besok saya kesini lagi jemput Ayla,” jawab Ray dengan sopan sambil “melemparkan” senyum manisnya yang mempesona.

“Oh, gitu.“

“Iya tante. Mari, saya pamit dulu. Bye Ayla.”

“Mari. Hati-hati ya!”

Kedua orang wanita itu memandang Ray yang beranjak pergi. Saat mobilnya sudah keluar dari pagar, sang ibu berkata, “Ibu suka anak itu,”

Ayla hanya bercanda, “Samaaaa dong!”

Di dalam mobil, Ray memeriksa pesan yang sejak tadi dikirim Mara melalui jalur secure. Seluruh biodata Anton Handika yang ia butuhkan sudah lengkap. Alamat rumahnya cukup jauh. Jika lancar akan memakan waktu sekitar satu jam. Ray segera mengumpulkan semangatnya. Dalam urusan menolong orang lain, ia tidak pernah merasa lelah.

Mungkin karena sejak lama, ia telah sering mendapatkan pertolongan orang lain. Hanya ini cara satu-satunya membalas jasa-jasa mereka.


oOo


1 comment:

  1. hm... kenapa wanita sekaya itu iPhone-nya belum pakai touch ID ya?

    ReplyDelete