Diana sedang memandang Ray dengan
takjub. Ia sendiri sangat cantik,
dandanannya pun menarik. Tetapi ia masih tidak percaya bagaimana seorang
setampan dan sekeren ini mau mengajaknya makan siang.
“Kalo gue cerita ke temen-temen
gue bahwa gue makan siang ama elo, mereka pasti gak ada yang percaya,” tukas
Diana sambil tertawa renyah.
“Gak percaya kalo wanita secantik
kamu ngajak gue makan? Tentu saja. Di seluruh dunia gak bakalan ada yang
percaya,” tawa Ray santai.
Diana ingin menyanggah. Ia tahu
bahwa Ray terbalik mengartikan maksudnya. Tapi tentu saja sebagai seorang
wanita, ia sangat senang saat dipuji cantik. “Ih menghina banget ngatain gue
cantik. Iya..iya..gue tau gue jelek. Gak usah nyindir gitu kaleee…,”
Ray tertawa, kebetulan seorang
pelayan datang mengantarkan makanan, Ray lalu bertanya kepadanya, “Mas, kalo
menurut mas, saya beruntung banget gak sih, bisa duduk dengan seorang wanita
cantik kayak ‘beliau’ ini?”
Si pelayan hanya tersenyum dan
berkata, “Beruntung sekali pak.”
“See?” tanya Ray pada Diana.
Yang ditanya hanya tertawa dan
wajahnya bersemu merah. Kulitnya yang putih membuat rona merah itu semakin
jelas terlihat. “iiiiih, bisa aja kamu….., ah…” ia mencubit pergelangan Ray
dengan manja. “Mas jangan ikut-ikutan jadi tukang gombal ah,” kata Diana pada
pelayan itu.
Setelah sang pelayan berlalu, Ray
bertanya, “Suami kamu kapan pulang?”
“Uh, males banget ah bahas dia.
Kenapa sih harus bahas itu sekarang?”
“Supaya aku tau kapan aja hari di
mana aku bisa ketemu kamu…..,” perkataan itu pelan. Namun Ray mengatakannya
dengan penuh kesungguhan dan tatapan mata yang dalam. Tatapan yang akan
melumpuhkan seorang wanita yang hatinya pun sekeras batu karang.
“Ohh…, gitu….” Diana kembali
tersenyum. “Katanya sih dua minggu. Tapi gak tau deh, dia kalo pergi selalu
lama.”
Ray hanya mengangguk. Segala
gerak gerik dan bahasanya tubuhnya sudah mengalir dengan luwes. Ia bisa memuji
seorang wanita tanpa harus memujinya. Cukup dengan caranya menatap, mengangguk,
atau menggerakkan tangan, seorang wanita akan merasa dirinyaspecial jika Ray melakukannya.
Pandangan mata yang demikian
halus, namun demikian hangat. Diana merasa seolah-olah ia berhadapan dengan
malaikat dan iblis sekaligus. Ia tidak merasa risih. Ia justru ingin dipandang
selamanya seperti ini oleh Ray. Ia merasa seolah-olah Ray telah menelanjanginya
dengan perlahan-lahan, dengan sentuhan yang lembut, dengan sinar mata teduh
yang menggelora.
Tak terasa Diana menarik
nafasnya. Desahan nafas yang dibuat wanita jika mereka telah menapaki puncak
kenikmatan di dalam cinta.
“Seluruh wanita, adalah sebuah
teka-teki yang harus dipecahkan. Misteri yang tak ada awal dan tak ada ujung,”
kata Ray.
“Misteri apa yang kamu lihat dari aku?”
Sudah tak ada lagi “Elo” dan
“Gue”. Berganti “Aku” dan “Kamu”. Perasaan memang dapat merubah kata-kata.
Ray sebenarnya dapat
mengungkapkan banyak hal dengan sekali memandang. Ia bisa mengatakan bahwa ia
tahu jika jendela kamar Diana pasti berada di sisi kiri meja riasnya, atau
lipstik yang sekarang dipakai wanita itu adalah sebuah lipstik yang berbeda
dengan yang biasanya ia pakai, atau bahwa Diana baru saja memarahi pembantunya
tadi pagi. Tapi ia tidak ingin merusak suasana romantis ini.
“Jika aku menceritakannya,
bukankah hal itu gak akan jadi misteri lagi?”
“Idih…., sukanya main rahasia-rahasiaan,”
tukas Diana berlagak sebel.
“Kalo mau tau, kamu harus ikut
aku,” kata Ray sambil tersenyum hangat.
“Kemana?”
“Ke atas. Aku nyewa tempat di
Kondo ini.”
“Beneran?”
“Sebenarnya dua di sini. Eh, makan dulu yuk!”
Makanan enak dan wanita cantik
adalah dua hal yang paling disukai Ray.
“Sejak kapan kamu tinggal di
sini?” tanya Diana.
“Aku nyewanya udah lama. Khusus
buat temen-temen yang datang ke Jakarta. Aku gak bisa bawa mereka nginep di
rumah, karena adikku gak nyaman kalo ada tamu. Jadinya nyewa di sini. Daripada
teman-teman nyewa hotel atau penginapan,” jelas Ray.
“Ih kamu baik banget, mikirin
temen sampai segitunya. Trus kondo ini kamu sewa seterusnya biarpun gak tinggal
di sini?”
Ray hanya mengangguk.
“Trus nyewa sampai 2?”
“Kalo bisa 2 kenapa cuma 1?” Ray
tertawa sambil membuat mimik wajah lucu.
“Cowok emang gitu ya. Kalo bisa
kawin 2, kenapa cuma kawin 1?” kata Diana sambil tertawa sinis.
“Salah. Kalo gak perlu dinikahin,
kenapa harus dinikahin? Hahahahahah.”
“Ehhhh, nakal yaaaaaa!”
Mereka berdua tertawa bersama.
“Aku tuh tau, ini tempat kamu
sewa bukan buat teman-teman. Tapi buat nyembunyiin cewek-cewek. Soalnya kamu
takut ama istri kamu yang galak di rumah,” tukas Diana.
“Aku belum nikah, kok,” jelas
Ray.
“Bo’ong banget!”
“Kan aku udah bilang tadi, kalo
gak perlu dinikahin kenapa harus dinikahin?”
“Emang kenapa gak mau nikah?”
tanya Diana penasaran.
“Emang kenapa harus nikah?” Ray
malah bertanya balik.
“Kamu gak pengen berkeluarga?
Tiap saat ada istri yang merhatiin, ada yang nyiapin makan saat kamu pergi dan
pulang kerja. Ada temen ngobrol tentang apa saja….,”
Ray cuma tertawa dan menjawab,
“Semua itu bisa aku dapetin tanpa harus menikah. Kalo pengen makan ya tinggal
ke restoran, pasti ada yang nyiapin makan. Kalo nikah cuma supaya ada yang
nyuciin baju, wah, laundry banyak bertebaran. Emang mau nyari istri apa mau nyari pembantu?”
“Hahaha ada benernya sih. Tapi masa kamu gak butuh sex? Atau jangan-jangan kamu homo ya?”
“Ibu Diana yang cantik dan baik hati ini hidup di jaman kapan sebenarnya?
Emang sejak kapan orang yang hidup di jaman ini harus nikah hanya supaya bisa
memuaskan kebutuhan itu?”
“Hmmmm, bener juga sih. Trus kamu
gak pengen punya anak? Meneruskan keturunan?” tanya Diana lagi.
“Jika aku punya anak, kayaknya
bukan aku yang ngerawat dan mendidik anak, justru si anak yang ntar ngerawat
dan mendidik aku. Hahahaha,”
“Kok bisa?”
“Tadi kata kamu aku ini nakal.
Orang nakal cuma akan menghasilkan keturunan yang nakal juga. Ntar dunia tambah
rusak. Jangan deh.”
Makan siang sudah selesai, mereka
menikmati sedikit dessert sambil mengobrol tentang hal-hal kecil.
“Aku perhatiin tadi pilihan
makanan kamu sehat banget. Pantes badannya six pack gitu kayaknya,” kata Diana.
“Ditambah sedikit olah raga sih,”
jawab Ray sambil meminum segelas susu segar.
“Serem-serem, eh minumnya susu,”
tawa Diana.
“Aku suka susu,” kata Ray sambil
memandang bibir Diana. Lalu memandang lehernya. Pandangan yang telah dilatih
dan dipraktekkannya ribuan bahkan mungkin jutaan kali. Ray sangat percaya diri
dengan sinar matanya.
“Mmm…..,” jika perempuan tidak
tahu apa yang harus ia katakan, memang biasanya cuma suara seperti ini yang
keluar dari mulutnya.
Ray membayar makanan dengan kartu
kreditnya. Lalu dengan pandangan wajah bercahaya ia berkata kepada Diana, “Aku
harus ke atas. Lihat-lihat kalo ada beberapa kebutuhan yang kurang. Ada teman
yang mau mampir lusa soalnya. Kalo kamucapek dengan pengen istirahat, nih ada
tempat satu lagi. Bawa aja kuncinya.”
“Eh…., makasih banget udah ngajak
makan, tapi…..”
“See you!” Ray segera menghilang ke dalam lift.
Ia telah menanamkan
bibit-bibitnya sejak tadi, tentu saja ia akan menuai hasilnya sebentar lagi.
Untuk beberapa saat Diana ragu,
tapi akhirnya ia memutuskan untuk naik ke apartemen itu. Tempat tinggal laki-laki
biasanya memang menarik untuk diperhatikan. Dari situ ia bisa menilai orang
seperti apa laki-laki itu.
Ia membuka kunci kamar dan masuk
sambil sedikit celingukan. Tahu-tahunya di lihatnya Ray sedang duduk bersila
sambil bertelanjang dada dan memejamkan mata. Tattoo di tubuhnya tampak indah
bercahaya. Laki-laki bertubuh sempurna dan tattoo yang membuatnya terlihat
sangat seksi. Tak terasa tangan Diana menutup pintu dari dalam dan memutar
kunci.
“Aku…salah kamar.. ,” katanya.
Ray membuka mata dan tersenyum,
“Tidak. Aku yang salah ngasih kunci. Sini duduk di sini. Aku lagi latihan
yoga.”
Wajahnya terlalu tampan, tubuhnya
terlalu menarik, pandangan matanya terlalu menjarah jiwa. Diana tidak tahu apa
yang harus ia lakukan. Ray menarik tangannya, jatuh ke dalam pangkuan. Begitu
Diana terduduk di dalam pangkuan itu, segala keraguan dan kepedihan hatinya
menghilang. Yang ada hanyalah kebahagiaan. Kebahagiaan yang pernah hilang namun
ditemukannya lagi.
Ray mencium bibirnya dengan
lembut. Tangannya yang kokoh memeluk Diana dengan mesranya. Sentuhannya begitu
lembut, seolah mengerti tempat-tempat yang mana yang harus disentuh, tanpa
membuat perempuan merasa bersalah dan berdosa.
Diana menyerah. Sejak awal ia
memang telah menyerah. Tetapi Ray tidak langsung menangkapnya. Lelaki itu
mempermainkannya dulu. Bagaikan kucing dengan bola benang. Hal itu menyiksa
namun sungguh nikmat.
Bagi perempuan, kenikmatan dan
siksaan bedanya sangat tipis.Laki-laki yang mampu melakukannya hanyalah
laki-laki yang berpengalaman. Laki-laki yang tahu benar bagaimana memperlakukan
perempuan. Dengan lembut dan kasar pada waktu yang bersamaan. Dengan tawa dan
tangis pada saat yang sama. Dengan menyentuh dan tidak menyentuh pada saat yang
sama.
Bajunya telah tanggal. Tak ada
sehelai benang pun di tubuh Diana, dan Ray memperlakukannya seperti seorang
musisi mempermainkan instrumennya. Seperti seorang pelukis menggunakan kuasnya.
Cinta dan perasaan, nafsu dan keinginan. Wanita ingin memiliki semuanya. Ingin
merasakan semuanya. Ray memberikannya. Ia kokoh namun lembut. Ia panas namun
dingin. Ia bagai kanak-kanak namun sepenuhnya dewasa.
Nafas memburu. Seorang wanita
berteriak keras pada puncaknya. Segala mimpi, keinginan, cinta, perasaan,
harapan, kenangan, semuanya menjadi satu. Diana terkulai lemas. Kau dapat
melakukan apapun terhadap perempuan yang beradadi saat-saat seperti ini.
“Aku ingin kita bercinta di
rumahmu,” kata Ray sambil menatap wanita yang berada di pelukannya dengan
sungguh-sungguh.
“Kau gila! Ada suamiku, ada
anak-anak, ada satpam, ada pembantu…..,”
Kata-kata Diana tidak selesai
karena Ray telah mencium bibirnya dengan penuh gelora. Lalu kata Ray, “Semakin
berbahaya sebuah tempat, maka tempat itu semakin aman.”
Tubuhnya kini kembali kokoh.
Pelukannya menguat. Ciumannya semakin dalam,
“Eh, kamu mau lagi?”
“Hari ini kamu milikku seutuhnya. Kamu akan dengerin aku.
Permintaanku. Keinginanku. Dan aku akan dengerin kamu, permintaan kamu, dan
keinginan kamu.”
Ini bukan permintaan. Ini adalah
perintah. Dan Diana tunduk sepenuhnya pada perintah ini. Lelaki gagah yang bisa
menguasainya.
Dan cinta kembali menggelora.
oOo
Entah berapa kali mereka
bercinta.
Diana menyerah. Ia kini tertidur
pulas. Ray memijitinya dengan sebuah pijitan nyaman yang membuatnya terlena.
Tanpa diketahui Diana, Ray telah menekan titik-titik akupuntur yang membuatnya
tidur sangat lelap. Jika Ray tidak menekan titik lain untuk membangunkannya,
perempuan ini pasti akan tidur seharian.
Begitu memastikan bahwa Diana
telah terlelap, Ray segera bergerak. Ia memeriksa isi tas Diana dengan
hati-hati. Ia membuka dompet dan melihat isinya. Beberapa kartu kredit, kartu
identitas, SIM, kartu keanggotaan pusat kebugaran, dan lain-lain. Dari sini
saja, sudah banyak pengetahuan tentang Diana yang ia dapatkan.
Ia lalu memeriksanya iphone milik
Diana. Ada password yang harus ia pecahkan sebelum bisa melihat isi iPhone itu.
Sebuah password berupa titik-titik yang harus dihubungkan untuk membuat garis.
Ray memiringkan iphone itu agar cahaya dapat menimpa permukaan layar. Dengan
sedikit memperhatikan secara seksama, terlihat bekas-bekas jari di sana. Ada
cukup banyak bekas jari pada layar handphone seseorang. Tetapi asalkan kau
teliti, kau bisa membeda-bedakan bekas-bekas ini. Dalam sekejap Ray sudah
berhasil memecahkan titik-titik mana yang harus dihubungkannya.
Ia memeriksa inox, message, BBM,
Whatsapp, email, dan segala hal di dalamnya. Begitu banyak informasi yang
didapatkannya mengenai wanita ini. Seperti yang diketahuinya, kehidupan cinta Diana
memang sedang dalam masalah. Suaminya berselingkuh, Diana sendiri pun
berselingkuh dengan beberapa orang-orang. Hal ini sudah dapat diduganya tanpa
harus memperhatikan isi iPhone wanita itu.
Yang ingin dicarinya adalah
jadwal-jadwal, daftar sahabat, kebiasaan-kebiasaan, dan rahasia penting
lainnya. Cukup lama Ray menikmati membaca semua ini. Setelah semua informasi
yang dicarinya sudah ia dapatkan, dengan hati-hati ia memasukkan kembali
iPhone, dompet, dan benda lainnya ke dalam tas dengan rapi. Jika Diana membuka
tasnya kembali, ia tak akan tahu bahwa segala isi tasnya sudah diperiksa orang
lain.
Setelah segala pekerjaannya
selesai, Ray lalu mandi. Ia mengganti baju dan sedikit “berdandan”. Penampilan
baginya adalah senjata nomer 1. Juga menambah rasa percaya diri seseorang. Ia
sangat heran dengan kaum lelaki yang tidak mau memperhatikan penampilan. Rapi,
wangi, namun harus dalam takaran yang pas. Bajunya pun terkesan modis tanpa
harus terlihat berlebihan.
Saat selesai dan telah siap untuk
pergi, ia memijit sebuah titik di kaki Diana dengan perlahan-lahan, dalam satu
atau dua menit, wanita itu akhirnya terbangun.
“Sayang, aku pergi dulu,” kata
Ray sambil mencium kening Diana.
“Mau kemana?”
“Ada urusan bisnis sebentar,” Ray
lalu mencium bibir Diana dengan penuh kemesraan.
“Jangaaan, aku bau,” kata Diana.
Meskipun begitu ia tidak melepaskan pagutan bibirnya.
“Aku akan hubungi kamu,” kata
Ray.
“Iya…, gak boleh lupa hubungi aku
loh ya,” desah Diana manja.
Ray hanya tersenyum. Ia pergi.
Diana memandangnya dari jauh
dengan mesra. Hatinya telah sepenuhnya milik Ray.
Dari dalam Jaguarnya, Ray menghubungi Mara. Jakarta telah beranjak gelap
inilah saat paling macet di kota metropolitan itu. Tapi terkadang Ray
menikmatinya. Ia menikmati menyetir sambil melamun dan berpikir. Memperhatikan
banyak hal yang terjadi di sekelilingnya saat macet.
“Kakak, pesanan kakak tadi tentang plat nomer motor Anton Handika sudah
adek cek. Motor itu atas nama dia. Dari situ kita dapat alamat
rumahnya.”
Ray memang meminta Mara untuk
mencari detail tentang Anton Handika. Semalam ia sempat melihat plat nomer
pemuda itu dan menggunakannya sebagai sumber informasi awal. Tebakannya betul.
Motor itu dibeli atas nama Anton sendiri. Ini semakin mengarahkan kesimpulan
bahwa lelaki ini sudah bekerja, dan mungkin tinggal jauh dari orang tuanya. Tetapi Ray belum mau mengambil kesimpulan.
Ia masih harus mengetahui detail yang lain.
“Sudah coba menggunakan satelit
untuk melihat lokasi dan keadaan rumahnya?”
“Belum. Masih nunggu koneksi
tadi. Susah untuk membonceng server CIA. Adek sedang nyoba bonceng lewat
servernya Rusia.”
“Oke gak papa. Pelan-pelan aja, sayang.”
“Kakak mau ke mana ini?”
“Mau jemput Ayla. Adek jangan telat makan ya!”
“Beres.”
Ayla Shinta adalah seorang artis
sinetron pendatang baru yang namanya melesat karena sebuah sinteron remaja
berjudul “Singa dan Perawan”. Rey sangat tidak suka menonton sinetron. Tapi
tentu saja ia menyukai aktris-aktrisnya. Ia berkenalan dengan Ayla di sebuah
kapal pesiar saat aktris muda nan cantik itu sedang liburan sendrian.
Saat Rey tiba di lokasi syuting,
Ayla baru saja menyelesaikan scene terakhirnya. Rey dengan ramah menyapa
beberapa kru yang dikenalnya. “Nyari Ayla ya? Tuh lagi makan di pojok,”kata
salah seorang kru. Ray mengucapkan terima kasih dan segera menuju pojokan
tempat Ayla berada.
“Heyyy, baru datang? Macet ya?”
tanya Ayla dengan ramah. Ia menggenakan kaos kuning casual, dan celana jeans
biru muda. Senyumnya manis sekali. Ray mengangguk sambil tersenyum, katanya,
“udah, makan dulu sana. Ngomong sampe gak
jelas gitu.”
Ayla hanya merengut, tapi dalam
hatinya merasa senang. Teman-teman aktris yang lain memandang Ray dengan kagum.
Dibandingkan dengan semua aktor sinetron yang ada, Ray menang jauh dalam hal
ketampanan.
“Eh, ada si ganteng!”
Ray kenal suara ini. Suara
cempreng milik Denny Syailendra. Orangnya kecil, botak, dan agak
kebancian-bancian. Ia termasuk orang paling penting dalam dunia sinteron
Indonesia. Karena lelaki inilah yang mengorbitkan banyak artis melalui tangan
dingin agency-nya.
“Halo oom,” sapa Ray ramah.
“Idih…., manggilnya oom. Emang
kita oom-oom?”
Ray hanya tertawa.
“Kamu kapan ikut casting? Yakin deh pasti keterima.
Setelah itu jadi terkenal dan punya fans jutaan orang loh,” tukas Denny
Syailendra. Melihat Ray tidak menjawab, ia kembali menyambung, “Meskipun
uangnya sedikit bagi kamu, nama tenar itu susah didapat loh.”
“Gak pengen tenar oom. Enakan
juga gini. Bisa nyantai,” jawab Ray
santai.
“Kebanyakan nyantai gak baik loh.
Ntar karatan….,” Denny selalu menggunakan kata “loh” di hampir setiap
kalimatnya.
“Apanya yang karatan, oom?” tawa
Ray setengah menggoda.
“Ya itu, si ‘boy’ jadi karatan,”
Denny Syailendra tertawa sendiri mendengar gurauannya yang tidak lucu. Ray
pura-pura tertawa tapi tidak melanjutkan bergurau. Ia menoleh ke Ayla dan
berkata, “Udah selesai syutingnya? Apa masih lanjut lagi?”
Ayla melengos, katanya, “Tadi kan
gue disuruh diam dan ngabisin makan, ngapain sekarang ngajak ngobrol?”
“Dasar tukang ngambek,” tawa Ray sambil
mengelus kepala Ayla lalu duduk di sebelahnya. Berhubung Ayla sedang berlagak
ngambek, Ray menggunakan kesempatan ini untuk memperhatikan keadaan sekeliling.
Banyak kru yang sedang beristirahat. Para artisnya ada yang bergabung dengan
mereka sambil menikmati makanan yang sudah disiapkan. Artis yang lain sudah
memasuki biliknya sendiri-sendiri, bersiap-siap untuk pulang.
Dunia sinteron yang glamour di dalam layar kaca, ternyata
sederhana. Seperti pekerjaan pada umumnya. Tetapi kesederhanaan ini menyimpan
berbagai misteri dan rahasia. Menyimpan duka yang menyedihkan dan menakutkan.
Justru karena itulah ia berada di
sini.
Hampir 2 bulan yang lalu, seorang
artis cantik yang bernama Keisha Vanya mati bunuh diri meloncat dari jendela
apartemennya yang setinggi 30 lantai. Dari pemberitaan media massa, Ray merasakan
ada sesuatu yang tidak beres. Ia kemudian memutuskan untuk menyusup ke dalam
dunia keartisan ini dan menyelidiki secara langsung.
Ray memutuskan untuk mengikuti
trip liburan bersama sebuah kapal pasar karena ia mendengar banyak artis yang
ikut dalam pelayaran itu. Di sanalah ia berkenalan dengan Ayla, yang ternyata
merupakan sahabat Keisha Vanya.
Dalam masa-masa penyelidikan itu,
masih belum banyak kemajuan yang ia hasilkan. Kepolisian pun sangat ketat
menutup rahasia ini. Mara telah mencoba meretas jaringan kepolisian, tetapi
lucunya, jaringan cyber kepolisian
negara ini begitu menyedihkan sehingga tidak cukup data yang tersedia di dalam
jaringan itu. Satu-satunya cara adalah menyusup langsung ke markas kepolisian
untuk mencuri datanya. Tapi resikonya terlalu besar.
“Heh, ngelamun aja, laper ya?
Syukurin!” Ayla tahu-tahu menyenggol
lengannya.
Jika seorang perempuan sedang
berlagak sebal, maka cara terbaik adalah mendiamkannya. Pada akhirnya ia
sendiri yang akan menyapamu. Rumus ini sangat dipahami betul oleh Ray.
“Ada orang sedang sibuk makan
sambil sewot, gue mana berani ngajak ngobrol?” tawa Ray.
“Huh! Nyebelin terus dari tadi!” seru Ayla.
“Elo tuh yang lagi bad mood. Emang ada apa? Dimarahin sama
sutradara ya?” bisik Ray pelan.
Ayla tidak menjawab. Di wajahnya
ada bayang kesedihan. “Ntar aja gue
cerita, yuk pulang,” katanya.
Ray berdiri dan menggandeng tangan
gadis itu. Ia tinggi semampai. Tubuhnya langsing dan kulitnya putih bersinar. Jika
tersenyum ada sebuah gingsul kecil yang membuat wajahnya terlihat lebih manis. Mereka
berdua memohon diri kepada para kru dan segera menujuJaguar hitam Ray yang
diparkir di halaman.
Begitu mobil berjalan, Ayla mulai menangis sesenggukan.
“Eh, nangis?” kata Ray pelan. Ia
mengambilkan tissue untuk gadis itu, dan berkata, “Maafin ya kalo becandaan gue
rada kelewatan.”
Ayla menerima tissue itu dan
membiarkan Ray mengelus-elus kepalanya. Selama ini elusan itulah yang
menemaninya dalam kesedihan dan kesepiannya.
“Bukan. Bukan karena kamu,…….besok
40 harinya Keisha,” jelas Ayla sambil sesenggukan.
“Besok Ayla mau ke rumah Keisha?
Ada tahlilan kan? Aku antarin ya?”
Ayla cuma mengangguk. Air matanya masih mengalir.
Ray sebisa mungkin menahan air matanya. Kematian dan tangisan adalah hal
yang sangat dipahaminya dengan amat sangat dalam. Begitu sering ia kehilangan
orang-orang yang ia cintai. Saat itu ia mengira hatinya akan mati atau
mengeras. Tetapi justru hatinya semakin bertambah lembut.
Ia tahu tidak ada yang bisa ucapkan di saat Ayla sedang menangis. Jika
perempuan ingin menangis, biarkan ia menangis. Peluklah ia dan tenangkan
hatinya. Tetapi jangan larang ia menangis. Karena justru hanya tangisan yang
mampu melegakan hatinya.
Ray meminggirkan mobilnya dan
memeluk Ayla dengan lembut.
“Kenapa berhenti?” tanya si cantik ketika tangisannya sudah reda.
“Kenapa tidak boleh berhenti?”
Ray menjawabnya dengan pertanyaan.
“Aku udah gak sedih kok, yuk
jalan lagi,” tukas Ayla.
Ray tersenyum dan mengangguk. Ia
segera menjalankan mobil dan melanjutkan perjalanan. Syuting malam itu
dihentikan lebih cepat daripada biasanya, sehingga mereka pulang saat jalanan
masih sedikit macet. Keadaan di dalam mobil cukup sunyi karena Ayla masih
termenung, Ray akhirnya menyetel radio dan menikmati musik sambil memperhatikan
jalan raya. Ia tahu Ayla tidak ingin diganggu dalam lamunannya.
“Kok diem aja sih?” tanya Ayla
tiba-tiba.
“Lagi mikirin kamu….”
“Bo’ong banget ah. Ngapain mikirin aku, lah akunya ada di sini,”
“Justru itu hebatnya kamu. Bisa bikin orang mikirin kamu meskipun kamu ada
di sini,” tukas Ray.
“Ah gombal!” tapi ia tertawa.
Ray tidak menjawab. Ia hanya
memandang gadis itu dengan tatapan penuh sayang.
“Aku tuh heran ama kamu,” seru Ayla.
“Heran kenapa?”
“Kenapa kamu baik ama aku?”
“Emang kalo baikin orang harus
pake alasan?”
“Kamu tuh pasti gitu, kalo
ditanya malah balik nanya,” gerutu Ayla.
“Lah, emang ada peraturan negara
yang bilang cuma kamu yang boleh nanya dan aku cuma boleh jawab?” tawa Ray.
“Udah ah gak boleh becanda. Aku
nanya serius.”
Bagaimana ia menjawabnya? Segala
kebaikan dan pendekatannya terhadap gadis cantik ini semata-mata hanya untuk
membongkar kasus kematian Keisha. Jika kasus ini selesai, ia akan menghilang
dari hidup gadis itu. Ray telah berungkali mengalami hal ini. Orang yang ia
sakiti hatinya sudah tak dapat dihitung lagi. Tetapi ia terus melakukannya.
Kebenaran memerlukan tumbal. Ia percaya itu. Meskipun demikian, toh hatinya
tetap tercabik-cabik menyakiti mereka.
Terkadang dia yang paling kejam, justru cintanya malah amat dalam.
“Mungkin karena kamu juga baik ke
aku,” kata Ray.
Sebuah jawaban yang menggantung
namun juga berhenti sampai di situ.
“Kamu gak ada niat buruk ke aku
kan? Maaf cuma nanya. Aku kerasa hubungan kita ini aneh.”
“Emang berapa kali aku nyakitin
kamu, atau manfaatin kamu?” tanya Ray.
Ray tak pernah memanfaatkannya.
Tidak pernah meminta uang darinya, malahan justru Ray lah yang keluar uang
terus. Bahkan Ray tidak pernah melakukan hal tidak senonoh kepadanya. Sepanjang
hidup Ayla, baru kali ini menemukan lelaki yang begitu “sempurna” seperti ini.
Tampan, kaya, lembut, penuh
perhatian, humoris, cerdas, dan sopan.
Sesuatu yang begitu sempurna, biasanya tidak pernah nyata.
Perkataan itu selalu berdengung
di benak Ayla saat ia memikirkan Ray. Meskipun masih muda, Ayla adalah wanita
yang masih dapat berpikir saat jatuh cinta. Tidak banyak gadis seperti dirinya.
“Aku punya adik. Usianya beda 3
tahun dari aku. Karena sebuah
kecelakaan, dia lumpuh. Masa depan yang gemilang cuma jadi sekedar harapan
baginya. Kalo liat kamu, aku pasti inget adikku. Percaya deh aku gak punya niat
buruk ama kamu,” tukas Ray.
“Oh? Kenapa kamu gak pernah
cerita?”
“Ini sekarang cerita,” jawab Ray.
“Kok gak dari dulu?”
“Sebuah tragedi bukanlah hal yang
gampang untuk diceritakan.”
Ini memang jawaban yang tepat.
“Aku pengen ketemu adik kamu,
boleh?”
“Sebenarnya boleh banget.
Sayangnya dia gak suka ketemu orang.”
Kembali keraguan timbul di hati
Ayla. Apakah Ray hanya mengarang cerita untuk mendapatkan simpatinya?
“Tapi kamu boleh ngobrol ama
dia,”
Ray memencet sebuah tombol.
Layarnya menyala dan ia membuat sambungan telpon ke Mara.
“Halo kak!”
“Adek, aku lagi ama Ayla. Dia
pengen kenalan ama kamu,” Ray memiringkan sebuah kamera kecil yang berada di
bagian depan sebelah atas. Kamera itu lantas menyorot wajah Ayla.
“Halo selamat malam, kak” kaget
juga Ayla akan hal ini.
“Halo. Wah, aku ketemu artis,”
tukas Mara. “Aku Mara, adeknya kak Ray,”
“Kamu cantik banget,” puji Ayla tulus.
“Makasih, kamu juga cantik
banget. Lagi ngapain ama kak Ray?”
“Baru pulang syuting. Ini lagi
perjalanan pulang ke rumah,”
“Oooh. Ya udah. Titip pesan kak
Ray kalo pulang bawain KFC ya. Lama banget gak makan KFC,” kata Mara.
“Okeee. Ini kak Ray,” kata Ayla
sambil memberi tanda agar Ray berbicara dengan Mara.
Ray memiringkan kamera kembali ke
posisi semula, lalu berkata, “Kakak pulang agak maleman nih. Ada yang mau diurus dulu. Ntar KFC-nya beres deh,”
“Okee lah kalau begitu. Adek mau
browsing-browsing dulu. Ada tugas. Hehe. Bye kakak. Salam buat Ayla,”
“Bye.” Kata Ray sambil mematikan
sambungan.
“Kalian berdua akrab banget, ya.
Seneng liatnya,” kata Ayla.
“Yah. Itu karena kami berdua udah
yatim piatu semenjak kecil. Setelah bokap-nyokap meninggal kami diasuh keluarga
lain. Jadinya ya deket banget,”
“Oh begitu…...” Ayla tidak bisa
berkata apa-apa. Terlalu banyak cerita yang ia dengar malam ini. Tapi sifat
kewanitaannya yang penuh rasa penasaran membuatnya bertanya, “Kalian yatim
piatu sejak umur berapa? Maaf ya, kalo gak mau jawab gak papa, kok.”
“Sejak aku umur 9, dan Mara 6
tahun,” jawab Ray pendek. Ia memang tidak ingin bercerita lebih jauh. “Udah mau nyampe nih, mau mampir makan
atau nongkrong dulu gak?”
“Gak usah lah, aku masih kenyang. Lagian kamu juga ada acara katanya?”
“Iya. Tapi masih sempat kalo mau nongkrong dulu.”
“Mmmmm, gak usah deh. Aku istirahat aja. Besok aja yah. Kamu jadi nganterin
aku, kan?”
“Jadi dong!”
Ray mengantar Nayla sampai ke
depan pintu rumahnya. Ibunya yang membuka sendiri pintunya. “Eh, ada Ray. Yuk
masuk!”
“Wah maaf banget tante, saya ada
janjian ama teman. Besok saya kesini lagi jemput Ayla,” jawab Ray dengan sopan
sambil “melemparkan” senyum manisnya yang mempesona.
“Oh, gitu.“
“Iya tante. Mari, saya pamit dulu. Bye Ayla.”
“Mari. Hati-hati ya!”
Kedua orang wanita itu memandang
Ray yang beranjak pergi. Saat
mobilnya sudah keluar dari pagar, sang ibu berkata, “Ibu suka anak itu,”
Ayla hanya bercanda, “Samaaaa dong!”
Di dalam mobil, Ray memeriksa
pesan yang sejak tadi dikirim Mara melalui jalur secure. Seluruh biodata Anton Handika yang ia butuhkan sudah
lengkap. Alamat rumahnya cukup jauh. Jika lancar akan memakan waktu sekitar
satu jam. Ray segera mengumpulkan semangatnya. Dalam urusan menolong orang
lain, ia tidak pernah merasa lelah.
Mungkin karena sejak lama, ia
telah sering mendapatkan pertolongan orang lain. Hanya ini cara satu-satunya
membalas jasa-jasa mereka.
oOo
hm... kenapa wanita sekaya itu iPhone-nya belum pakai touch ID ya?
ReplyDelete