Seminggu kemudian.
Ray bertamu ke rumah Diana. Rumah
mewah dengan pagar yang sangat tinggi. Tidak akan ada orang yangtahu dan ambil
perduli terhadap kejadian apapun di balik pagar itu. Bahkan sang satpam penjaga
rumah yang membukakan pagar pun tidak tahu bahwa majikannya sedang menyusupkan
seorang lelaki tampan di mobilnya. Para pembantu sudah tidur, dan anak-anaknya
telah diaturnya untuk menginap di rumah sang nenek.
Mereka bercinta dengan sangat
panas malam itu. Sepanjang hidupnya, Diana belum pernah merasakan kenikmatan
sedalam dan sedahsyat yang diberikan Ray. “You
are a fucking sex god,” bisik Diana dalam kelemahannya di dalam pelukan
Ray.
“And you are the most beautiful angel I have ever seen,” bisik Ray.
Entah berapa lama mereka
bercinta. Entah berapa kali puncak kenikmatan itu mereka rengkuh. Kini Diana
telah tertidur. Tentu saja Ray telah memijit titik-titik akunpunturnya agar ia
tertidur dengan sangat lelap.
Setelah memakai bajunya, Ray
keluar. Hampir seluruh lampu dalam rumah itu memang sudah dimatikan sejak tadi.
Ia bergerak di dalam bayang-bayang. Ray telah menguasai seluruh isi rumah hanya
dalam satu kali pandang. Ia telah mengetahui semua letak-letak ruangan. Di
dalam bayang-bayang ia bergerak. Dalam satu gerakan ia telah berhasil turun
dari lantai dua ke lantai satu dengan ringan dan halus. Ia bergerak tanpa suara
bagaikan kucing hitam di malam hari.
Setelah berhasil mengunci
kamar-kamar pembantu dari luar dengan menggunakan alat yang sudah ia persiapkan
sejak awal, Ray kembali melompat dan memanjat ke lantai atas. Sangat cepat dan
ringan. Latihan parkour yang sudah
ditekuninya bertahun-tahun membuat ia begitu mudah bergerak seperti ini.
Ia lalu menuju ke sebuah kamar.
Kamar yang merupakan incarannya sejak beberapa minggu yang lalu. Dengan mudah
Ray membuka kamar yang terkunci itu dengan alat yang dibawanya pula. Kamar ini
adalah kamar kerja milik Garlas Tambora. Seorang pegawai tinggi Dinas Perpajakkan
yang ditengarai memiliki catatan-catatan penting mengenai tindak korupsi para
petinggi negeri ini. Tetapi aparat penegak hukum belum dapat bergerak karena
belum menemukan bukti. Inspektur Aditya Warman telah meminta Rayden untuk
menangani kasus ini.
Dengan cepat Ray masuk ke dalam
dan menutup kembali pintunya. Ia menggunakan kaca mata infra merah untuk
melihat dalam gelap. Gerakannya lincah dan cermat, matanya menyapu seisi
ruangan dan menyelidiki setiap sudutnya. Sesudah memahami dan menghafal semuanya,
Ray menuju ke sebuah komputer yang berada di atas meja kerja. Komputer ini
tidak tersambung dengan internet sehingga Mara tidak mungkin meretasnya.
Dibutuhkan akses langsung agar seluruh data di dalam komputer itu bisa
diketahui.
Ray menyalakan komputer itu dan
menancapkan sebuah flash disk. Flash disk itu berisi sebuah “virus” dan
pemancar sinyal. Dengan begitu, Mara dapat meretasnya dengan mudah. Diperlukan
waktu yang tidak begitu lama bagi Mara untuk meretasnya. Sambil menunggu, Ray membuka
lemari besi tempat penyimpanan barang berharga. Tidak sulit bagi Ray untuk
membukanya. Tidak ada surat-surat berharga dan bukti-bukti yang dicarinya di
sana.
Begitu Mara selesai, Ray mencabut
flash disk itu dan segera keluar. Ia sempat mengunci kembali kamar kerja itu,
mencopot alat-alat yang ia pasang di beberapa kamar pembantu dan kembali ke
kamar tidur Diana.
Jam 4 subuh, Diana terbangun. Ray
masih tertidur dengan pulas di sebelahnya. “Sayang, ayo bangun. Aku harus mengantarmu pulang sebelum para pembantu
bangun.”
oOo
Malam pagelaran busana untuk
penggalangan dana bagi anak-anak penderita kanker di Singapura.
Sebuah fashion
showinternasional megah yang dihadiri kalangan jet set dan para sosialita. Ray selalu suka datang di acara ini.
Apalagi untuk bertemu dengan sahabatnya, seorang supermodel maha cantik dari
Rusia, Savana Ruminova. Ray pernah membantunya. Bahkan Ray pula yang mencarikan
jalan di dunia modelling untuknya.
Makan malam telah selesai, fashion show telah selesai, penggalangan
dana telah selesai. Kini para model berbaur dengan para tamu untuk menikmati
sebuah standing party dan sekedar mengobrol. Savana menggandeng tangan Ray
dengan mesra.
“Kapan kau akan datang
mengunjungiku ke New York?” mereka berbicara dalam bahasa Rusia.
“Tidak perlu,” jawab Ray.
“Kenapa? Kau jahat!”
“Tanpa perlu ku kunjungi, kau
sudah datang sendiri ke sini,” tawa pria tampan itu.
Savana mencubit lengannya dengan
perlahan, “Kau memang benar-benar jahat!”
“Aku hanya akan datang jika kau
memerlukan bantuanku. Sekarang hidupmu telah sempurna. Karirmu melambung
tinggi. Kau tidak memerlukan aku di dalam hidupmu,” kata Ray sungguh-sungguh.
“Tapi aku merindukanmu. Kau tahu
bahwa aku sungguh-sungguh mencintaimu,” para wanita Rusia memang tidak pernah
ragu-ragu mengungkapkan isi hati mereka.
“Dan kau tahu pula, hidupku penuh
petualangan. Semakin kita bersama, semakin kau akan merasakan kesepian,” Ray
menatapnya dengan dalam. Jurus andalan yang selalu berhasil ia gunakan.
“Jika kau mengajakku pergi,
sekarang juga akan ku tinggalkan karirku dan pergi bersamamu,” Savana
memandangnya dengan sungguh-sungguh pula. Mata itu tajam. Berwarna hijau
sempurna. Rambutnya pirang kecoklatan. Tulang pipinya tinggi. Bibirnya tipis
merekah dengan begitu mempesona.
Jika ada seorang lelaki “sempurna” yang mengajaknya pergi, seorang
perempuan memang terkadang rela meninggalkan segala hal. Termasuk suami dan
anak-anaknya.
Tapi Savana belum menikah.
Meskipun ia berganti-ganti pacar, sejak dahulu hatinya telah ia berikan
seluruhnya kepada Ray. Seorang perempuan yang telah memberikan hatinya
seutuhnya kepada seorang lelaki, tidak lagi merasa hidupnya sendiri berharga.
Ray mengerti ini. Karena itu ia
justru berharap Savana lebih menghargai hidupnya sendiri. Mendaki karir yang
susah payah ia usahakan sendiri, dengan segala keringat dan air mata. Ray ingin
Savana hidup sehidup-hidupnya, menikmati segala kemewahan yang tidak wanita itu
rasakan sebelumnya.
Karena itulah Ray tak ingin
berada di dalam hidup Savana. Karena siapapun orangnya, jika masuk dalam
kehidupan Ray, ia akan menderita. Ray selalu percaya hal itu. Oleh sebab itu,
perasaan bersalah dan berdosa tidak pernah bisa ia hilangkan dari dalam
dirinya.
Ray menggandeng tangan Savana dan
membawanya menikmati udara segara di luar. Sebuah balkon di lantai atas sebuah
bangunan megah yang tinggi menjulang. Mereka menghabiskan waktu bercerita dan
menikmati suasana indah malam itu.
Bintang-bintang bersinar indah.
Sebuah pesan rahasia masuk ke
dalam handphonenya.
Trix: I’m going.
oOo
Garlas Tambora baru saja memasuki
taxi, setelah keluar dari sebuah casinoMarina
Bay. “Ke hotel Grand Royal,” katanya.
Si supir ternyata seorang wanita.
Wanita menoleh dan tersenyum, tetapitiba-tiba ia menembakkan sebuah taser, senjata kejut yang dapat membuat
seseorang pingsan. Segalanya kemudian gelap bagi Garlas Tambora.
Taxi kemudian melaju kencang ke
sebuah bangunan di area dermaga. Bangunan ini diliputi pagar yang tinggi. Tak
ada seorang pun yang bisa mengetahui apa yang terjadi di sana. Ternyata Ray
sudah berada di sana. Bahkan ia pula yang membukakan pintu pagar dengan
perlahan-lahan.
Ray menggunakan sebuah balclava
(sejenis topeng ski) untuk menutup mukanya. Pakaiannya yang ringkas dan
berwarna hitam, serta tutup wajah yang dipakainya, membuatnya terlihat bagai
seorang ninja.Trix pun menggunakan
tutup wajah yang sama dengan yang dipakai Ray.
Dengan sigap mereka berdua
mengeluarkan Garlas dari bagian belakang taxi. “Cepat, sebelum para
penyelundup-penyelundup itu datang!” bisik Ray perlahan. Dalam perjalanan tadi,
rupanya Trix telah menyumpal mulut Garlas, dan memborgol kaki dan tangan lelaki
itu. Pria itu memang masih pingsan sejak ditembak Trix dengan taser.
Mereka lalu membawa Garlas ke
sebuah gudang yang gelap gulita. Kemudian memasukkan lelaki itu ke dalam sebuah
peti. Setelah itu, Ray menyuntikkan sebuah cairan melalui lengan Garlas. Cairan
ini untuk memberi kekuatan kepada Garlas agar ia bisa bertahan hidup tanpa
makan dan minum selama hampir 2 hari perjalanan. Ray kemudian memasukkan sebuah
flash disk berisi data-data yang
dicurinya dari rumah Garlas ke dalam kantong pria itu.
Peti ditutup dan Ray menyegelnya.
Ada banyak peti di ruangan itu. Semuanya
memiliki tampilan yang sama. Tak ada seorang pun yang bisa mengetahui
keberadaan Garlas di salah satu peti itu. Yang membedakan hanyalah
lubang-lubang kecil pada peti yang dibuat Ray agar Garlas dapat bernafas.
Peti-peti ini berisi
barang-barang mewah yang akan diselundupkan ke Indonesia melalui jalur laut.
Tiba-tiba lampu menyala!
“Who’s that?!”
Ketahuan!
“Thief! Maling! We have thieves here!” teriak orang yang menyalakan
lampu, dengan logat Singapuranya yang khas.
Terdengar suara kaki berlari
mendekat. Ada 7 orang yang datang. Masing-masing membawa senjata tajam di
tangannya!
Ray menyuruh Trix bersembunyi di
balik peti-peti.
Lelaki tampan itu tidak panik. Ia
pernah menghadapi orang yang jumlahnya lebih banyak daripada sekarang. Saat itu
ia membunuh mereka semua. Membunuh memang jauh lebih mudah daripada membiarkan
hidup. Tapi ia butuh mereka untuk tetap hidup. Garlas Tambora harus berhasil
diselundupkan ke Indonesia.
Serangan pertama pun datang!
Sebuah golok menyambar lehernya.
Tetapi sebelum golok itu mencapai lehernya, Ray telah mampu mencengkeram tangan
itu, dan dengan sebuah gerakan yang halus dan indah, telah mampu mengunci
lengan itu dari belakang.
Klontang!
Golok pun jatuh di lantai. Sebuah kuncian yang membuat penyerang itu
tak berdaya. Ray bahkan hanya menggunakan satu tangan untuk mengunci orang itu.
Tangan yang satunya lagi telah memungut golok.
“Come forward, semua!” tantang Ray dengan logat Singapura yang
sempurna.
Sejenak para penyerang itu ragu-ragu. “Kita serang together a? If
together he will not win!” kata salah seorang. Yang lain sepakat sambil
menganggukkan kepala. Mereka bergerak bersama-sama. Jika orang lain yang menghadapi
serangan keroyokan seperti ini, ia tentu akan panik dan ketakutan. Tetapi Ray
bukan orang lain. Ia menguasai Gracie Jiu Jitsu, Aikido, Jeet Kune Do, dan Krav
Maga dengan sempurna. Ia telah mengalami ratusan bahkan ribuan pertempuran.
Dengan pintar Ray menggunakan
orang yang dikuncinya itu sebagai tameng. Ray menyodorkannya ke depan, sehingga
para penyerang sejenak ragu karena mereka tidak mau menyerang kawan
sendiri. Keraguan yang sedetik itu
dimanfaatkan Ray dengan baik. Kakinya bergerak dengan sangat cepat. Tak ada
mata yang sanggup melihat bagaimana tendangan itu dilakukan!
Dalam sekali gerakan, Ray telah
melayangkan 3 tendangan masing-masing ke 3 orang penyerangnya. Tendangan yang
pertama menghajar dagu penyerang dari sebelah kanan. Tendangan yang kedua
menghajar ulu hati penyerang yang berada di depannya. Sedangkan tendangan ketiga
menghujam selangkangan seorang penyerang yang mencoba bergerak dari belakang
Ray.
Mereka semua jatuh terjengkang
dan mengaduh. Tak ada seorang pun dari
mereka yang sanggup berdiri!
Sisa 3 orang penyerang lagi.
Mereka semua diam tidak bergerak. Dalam hati mereka begitu ketakutan melihat
bagaimana orang bertopeng di hadapan mereka ini bergerak.Ia sama sekali tidak
pindah dari tempatnya berdiri. Tangan kirinya masih mengunci lawan, sedangkan
tangan kanannya memegang golok. Tapi golok itu belum digunakan sekali pun,
hanya sebuah kaki yang bergerak begitu
cepat. Ia telah merobohkan 3 orang!
Jika para penyelundup ini tahu
kemampuan Ray yang sebenarnya, mereka tentu akan memilih meletakkan senjata secepatnya
dan lari terbirit-birit sejauh-jauhnya. Sayangnya mereka tidak tahu. Karena itu
mereka pun kini sudah jatuh terkapar pula ketika Ray telah bergerak. Entah
bagaimana ia bergerak. Entah bagaimana ia menyerang. Tapi semua orang paham,
jika ia bergerak, pada akhirnya lawan-lawannya akan tergeletak dan ia akan
berdiri sendirian dengan gagah sebagai seorang pemenang.
Ray lalu menghajar tengkuk orang
yang dikuncinya sejak tadi. Lalu perkelahian ini selesai. Semua ini dituliskan
dengan sangat mudah, namun gerakan yang Ray buat sama sekali tidak mudah dan
sulit dijelaskan.
Ketika Ray menoleh pada Trix,
wanita cantik itu sedang asik duduk di atas sebuah peti dan makan roti
sandwich. “Eh, orang lain mengadu nyawa, kamu malah makan,” tukas Ray.
“Gue belum sempat makan tadi.
Haha,” tawa Trix.
Trix tertawa karena ia tahu, Ray tidak
pernah membutuhkan bantuan orang lain ketika berkelahi. Ia pun tahu, jika Ray
sedang berkelahi, maka cara terbaik yang bisa ia lakukan hanyalah menontonnya
dengan santai. Karena Trix yakin, meskipun langit runtuh pun, Ray pasti akan
melindunginya.
oOo
Ray membaca berita di sebuah
situs berita di internet. Polisi menemukan Garlas Tambora yang selama ini
dicari kepolisian dan KPK. Pegawai tinggi Dinas Perpajakan ini ditengarai
melarikan diri karena berusaha menyembunyikan bukti-bukti korupsi beberapa pejabat
pemerintah. Penemuan buronan ini terjadi secara tidak sengaja. Ia ditemukan
berada di sebuah kapal penyelundup yang selama ini menyelundupkan barang-barang
elektronik dari Singapura. Awalnya aparat begitu kaget ketika kapal yang mereka
tangkap ternyata berisi buronan Indonesia yang paling dicari.
Mara yang juga ikut membaca,
tertawa senang. “Untung kakak bisa membobol masuk rumahnya. Data-data penting
sudah berhasil ia hapus dari komputernya sebelum ia kabur. Tapi terima kasih
untuk dunia digital, data apapun yang sudah dihapus, bisa dikembalikan asal
kita tahu caranya.”
Dari data-data itu, polisi
mempunyai bukti untuk membawa beberapa pejabat tinggi ke pengadilan. Ray hanya
melengos, “Bukti-bukti ini sangat memberatkan, tapi kita tidak dapat berharap
banyak pada pengadilan dan penegakan hukum di Indonesia.”
“Lalu apa yang akan kakak lakukan
terhadap para tersangka?”
“Kita tunggu hasil pengadilan.
Jika mengecewakan, aku akan membunuh mereka semua.”
Sebuah pesan masuk di page
Facebook “Official:Rayden”.
Aditya Warman: Saya tidak tahu bagaimana, tapi saya tahu anda lah yang
berperan dalam penangkapan Garlas Tambora. Kami sangat berterima kasih. Apalagi
semua data-data dan berkas yang penting, telah kami temukan di sebuah flash
disk di dalam kantongnya.
Rayden: Indonesia berhak mendapatkan keadilan.
Aditya Warman: Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Bagaimana
cara kami membalas jasa-jasa anda?
Rayden: Jadilah penegak hukum yang jujur.
Ray kemudian mematikan sambungan
dan menutup Facebooknya.
“Kakak mau kemana?” tanya Mara.
“Mau latihan menembak, di Perbakin,”
“Latihan menembak? Masih perlu
latihan? Hahaha.”
“Tidak. Tapi banyak orang yang
bisa kakak temui di sana,” jawab Ray santai.
Dan dugaan Ray benar. Banyak
sekali orang penting dan kalangan atas yang menjadi anggota klub menembak resmi
ini. Ia sangat tertarik untuk meluaskan pergaulannya siapa tahu berguna untuk
tugas-tugasnya di masa depan.
Latihan pertama berlangsung
dengan sukses. Ray berpura-pura bodoh dalam hal ini sehingga sang pelatih harus
mengajarkannya beberapa kali. Tidak banyak orang yang datang hari itu. Tapi Ray
cukup puas. Ternyata ada beberapa orang penting di negeri ini yang juga menjadi
anggota. Ini diketahuinya saat membaca nama-nama anggota yang tercantum dalam
berkas keanggotaan. Ada nama Aditya Warman di sana, tercantum sebagai salah
seorang pelatih. Sang inspektur yang sering meminta bantuannya? Hmmm, menarik.
Jika berkenalan lebih akrab, tentu akan sangat membantu sekali, pikir Ray. Ia
tertarik untuk bertemu sang Inspektur, sayangnya polisi jujur itu tidak datang
hari ini.
Sepulang latihan, Ray mampir ke
rumah Ayla. Artis sinteron yang cantik itu kebetulan tidak ada jadwal syuting
hari ini. Dengan pakaian santainya, Ayla justru terlihat lebih cantik. Begitu membuka pintu untuk Ray, gadis itu
pura-pura cemberut.
“Baru muncul sekarang. Tumben
masih inget rumah aku,” katanya.
Ray hanya tersenyum. Ia membawa
sebuah oleh-oleh dari Singapura berupa beberapa makanan ringan kesukaan Ayla
yang tidak dijual di Indonesia. Ia juga membelikan sebuah gaun mahal yang
dibelinya di malam penggalangan dana beberapa hari yang lalu. Ayla menerima
hadiah itu dengan terpana. Ia tahu gaun seperti ini mahal sekali harganya.
“Terima kasih. Kamu baik banget,”
ia berjinjit lalu mencium pipi Ray. “Yuk, ke dalam. Papa Mama lagi ke kantor.
Cuma ada pembantu.”
Jika seorang perempuan mengatakan
rumahnya sedang kosong, tentulah ia memiliki maksud tertentu. Sebagai seorang
lelaki yang berpengalaman, tentu saja Ray tahu ini.
Mereka berdua ngobrol di lantai
atas sambil duduk di sofa dan menonton TV kabel. Tambah lama tubuh mereka
saling berdekatan. Tambah lama perasaan di hati mereka semakin menghangat. Ayla
tak tahu bagimana ia bisa terjatuh dalam pelukan Ray. Pelukan itu begitu
lembut, namun terasa begitu kokoh melindunginya. Seolah-olah ia berada dalam
sebuah ruang di mana tak ada seorang pun yang mampu menyakiti atau membuatnya
bersedih.
Lalu Ray mencium Ayla. Sebuah
ciuman yang membawa dalam, hangat, dan menjarah jiwa.
Bukan pertama kali ini Ayla berciuman. Tetapi baru kali inilah sebuah
ciuman dapat membawa seluruh jiwanya pergi. Jika Ray meneruskannya, bukan hanya
jwa Ayla yang akan ia bawa pergi, tetapi seluruh hidup, impian, kenangan, dan
harapan gadis itu akan ia tarik ke dalam black
hole tak berujung.
Karena itu Ray berhenti. Ia tidak
ingin menghancurkan hidup gadis itu. Perlu perjuangan besar baginya untuk
menghentikan semua ini. Karena ia adalah lelaki normal. Ia adalah lelaki sejati
yang dapat membuat seluruh wanita di muka bumi ini bertekuk lutut dalam kepatuhan
dan gairah tak berujung.
“Kenapa? Kamu gak suka aku ya?”
tanya Ayla.
Ia seorang wanita. Seluruh wanita
memiliki perasaan. Ketika tiba-tiba seluruh perasaan dipadamkan, maka ia akan
menyalahkan dirinya sendiri.
Ray menggeleng. “Justru aku suka
banget. Tapi kita udah ngelakuin yang terlarang….,”
Seandainya Ayla mengetahui betapa
Ray merasa begitu munafik saat mengatakan kalimat itu, betapa Ray membutuhkan
kekuatan yang amat besar untuk menghentikan dorongan perasaannya sendiri yang
menggelora, maka Ayla tak akan meneteskan air mata.
Tetapi air mata sudah dijatuhkan.
Karena gadis cantik itu tidak
percaya ada lelaki setampan dan sesempurna itu mengatakan bahwa bercinta adalah
“terlarang”. Bagaimana mungkin lelaki yang hidup di jaman modern di tengah-tengah
kota semegah Jakarta mengatakan hal demikian?
Memangnya elo lulusan pesantren mana? Anggota ormas garis keras?
Jangan-jangan elo homo?
Atau kah yang ia katakan hanya alasan belaka? Apakah aku jelek? Mulutku
bau? Ketek? Apa aku kurang cantik dibandingin ama yang lain?
Berjuta perasaan perempuan,
melebur dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung habisnya. Berujung pada
air mata yang ia teteskan di pipinya. Karena jika seorang perempuan tak sanggup
lagi berkata-kata, tak sanggup lagi berpikir, yang bisa ia lakukan hanyalah
menangis.
Ray menyentuh pipi itu dengan
lembut. Mencoba menghapus air mata di pipi gadis cantik itu.
Banyak lelaki mengatakan mereka
membenci melihat perempuan menangis. Tetapi sesungguhnya, jauh di lubuk hati
mereka, para lelaki sangat bahagia melihat seorang perempuan menangis untuknya.
Menangis karenanya.
Karena itulah tanda perempuan itu mencintai laki-laki.
Tapi bagaimana mungkin Ray
membiarkan Ayla jatuh cinta padanya?
Ia hadir dalam hidup Ayla
hanyalah karena Keisha Vanya. Jika kasus bunuh diri Keisha berhasil
diungkapnya, maka secepatnya ia akan menghilang dari hidup Ayla.
Kejam? Memang.
Tapi hidup memang selalu kejam.
Ray telah mempelajari kenyataan itu sejak usianya masih sangat belia.
Ayla mendorong tangan Ray
menjauh. “Kalo kamu emang gak suka
aku, gak perlu pura-pura. Kamu boleh pergi aja. Gak usah datang ke sini lagi.
Gak usah nyari aku lagi,” tangisnya tidak mereda.
“Ayla ingin aku jujur?”
Gadis itu mengangguk.
“Aku memang gak cinta ama Ayla. Tapi aku suka banget ama Ayla. Aku masih
belum bisa melupakan kenangan masa lalu ku yang sampai sekarang masih
menghimpitku. Tapi aku berusaha untuk keluar dari himpitan itu. Masa lalu
adalah masa lalu, sesuatu yang harus aku lupain. Untuk itu aku butuh seseorang
yang bisa bikin aku kuat. Sekarang mungkin aku belum bisa cinta ama Ayla. Tapi
mungkin besok, lusa, minggu depan, tahun depan, entah kapan. Aku pasti bisa.
“Sekarang Ayla udah tahu kenyataannya. Terserah Ayla mau ngomong apa.
Terserah Ayla mau nganggep aku apa. Tapi gak sedikit pun aku ada pikiran buat
ngerjain atau manfaatin Ayla.”
Ray menatapnya dengan
sungguh-sungguh. Siapa pula
perempuan di muka bumi ini yang sanggup bertahan dari tatapan ini?
Ayla adalah perempuan.
Karena itu sekali lagi ia jatuh ke dalam pelukan Ray. Tapi kali ini
pelukannya memberikan kelegaan perasaan. Ayla bisa mengerti. Lelaki yang
memeluknya adalah lelaki yang,“Belum bisa move
on, ya?” tanya Ayla. Meskipun ia menangis, ada tawa kecil di sudut
bibirnya.
Ray tertawa.
“Siapa dia? Mantanmu itu. Gimana
orangnya?”
“Sejak kecil aku dan Mara yatim
piatu. Kamu beberapa kali berganti orang tua angkat. Dan orang tua angkat kami
yang terakhir memiliki seorang anak perempuan. Namanya Rina,” kisah Ray.
“Rina? Ih nama standar banget.
Kayak film Indonesia jadul,” kata Ayla sambil mencibir.
Ray tertawa lagi. Tentu saja ia
tidak perlu bercerita bahwa Rina adalah putri tunggal dari seorang oyabun (boss) Yakuza yang paling
ditakuti di Jepang. Oyabun ini memang
ayah angkatnya. Bagaimana mungkin ia boleh jatuh cinta pada putri ayah
angkatnya?Meskipun tiada hubungan darah, hal ini dianggap sebagai hal yang
tabu.
Cinta Ray begitu dalam terhadap
Rina. Mungkin karena itulah Ray tidak pernah mau terikat kepada wanita lain.
Sebab, jika seorang laki-laki telah menyerahkan hatinya, maka ia telah
menyerahkan seluruh hidupnya. Alangkah miripnya laki-laki dan perempuan. Tapi
mengapa begitu berbeda?
“Cantikan mana ama aku?” tanya
Ayla lagi.
“Tentu aja cantikan kamu,” kata
Ray.
“Trus kok kamu gak bisa lupain
dia?”
“Karena hatiku udah dibawa kabur
duluan ama dia. Ini masih berusaha ngerebut kembali.”
“Ih, kayak lagu ‘Halo-Halo
Bandung’. Jangan lama-lama
ngerebutnya. Ntar aku bosen nungguin,” kata Ayla.
“Siap, boss!”
Bukan hal yang sulit bagi Ray
untuk merayu perempuan. Sebentar saja Ayla sudah lupa dengan kesedihannya, dan
mulai mengobrol ngalor-ngidul. Ray
mulai menjalankan rencananya, yang merupakan tujuan sebenarnya.
“Eh, denger-denger sebelum Keisha
meninggal ia ada rencana pindah ke luar negeri ya?” tanya Ray.
“Kamu tau dari mana?”
“Dari beberapa temen yang juga kenal ama dia. Sesama pemain sinteron.”
“Iya sih. Kata Keisha udah gak betah.”
“Kenapa gak betah?”
“Aku sebenarnya gak boleh
ngomongin ini…..”
“Duh tambah penasaran. Emang
kenapa sih?” tanya Ray tanpa ada kesan mencurigakan.
“Dia itu…, mmmm, bispak….,”
“Bisa pakai?”
Tentu saja artinya bisa dipakai untuk memuaskan nafsu.
Ayla mengangguk.
“Beneran?” Ray seolah tidak
percaya.
“Artis-artis jaman sekarang kebutuhannya besar banget. Gimana
caranya dia bayar kondo, atau beli mobil sport mewah kayak gitu? Emang
bayarannya sebagai artis sinetron berapa? Belum make up, belum baju, belum
tas….”
Ah, jadi ini kuncinya. Ray
sebenarnya sudah curiga. Tapi ia butuh keterangan yang memperkuat dugaannya
itu.
“Kalo artis-artis bispak kayak
gitu, mestinya ikut jaringan tersendiri gitu yah. Kayak yang kemarin heboh ada
artis ketahuan…..,” pancing Ray.
“Iya. Yang gue denger sih,
sekarang jaringannya diperketat. Udah gak sebebas dulu. Soalnya yang pake jasa
mereka itu pejabat-pejabat kelas atas. Kalo jaringan ini bocor bisa bahaya. Gue
yakin Keisha bunuh diri gara-gara gak kuat lagi hidup kayak gitu. Dia orang
yang baik banget sebenarnya. Terjerumus gara-gara butuh uang untuk gaya hidup.”
Perempuan yang rusak hidupnya
gara-gara uang, mestinya bukan cuma Keisha saja. Begitu banyak perempuan di
dunia ini yang mengalaminya. Sejak dahulu sampai sekarang, uang dan kemewahan
adalah permasalahan utama dalam kehidupan mereka. Hal ini akan tetap menjadi permasalahan
para wanita hingga ribuan tahun ke depan.
“Trus kenapa dia gak betah?”
“Katanya uangnya udah cukup. Udah
bisa modalin usaha keluarganya. Dia pengen kembali ke jalan yang bener, sayang
gak bisa. Sekali masuk ke dalam jaringan kayak gitu, kita gak bakalan bisa
keluar dengan mudah,” jelas Ayla.
“Hmmm, kasian ya…, eh, pacarnya
tau nggak kalo Keisha itu punya kegiatan gitu?”
“Setahu gue sih nggak. Keisha
pintar banget nutupinya. Gue inget sempat membahas ini ama Keisha. Gue bilang
dia harus hati-hati, karena jika pacarnya tau, hubungan mereka bisa
berantakan.”
Dengan kenyataan ini, ada banyak
kemungkinan yang bisa Ray buat atas penyebab kematian Keisha. Pacar yang
cemburu, jaringan prostitusi yang berbahaya, pelanggan yang merasa terancam,
keluarga yang malu, saingan yang cemburu, dan lain-lain. Dari sini, Ray bisa mengembangkan kasus ini dengan
cukup mudah.
“Trus kalo Keisha pindah ke luar
negeri, dia mau kerja apaan?”
“Katanya sih menulis. Dia hubungi
banget menulis. Cuman dia gak suka pake komputer,” tawa Ayla.
“Lah nulis di buku?”
“Iya. Malahan rapi banget kalo
nulis diary,”
Diary! Ray tidak melihat buku
apapun saat ia masuk ke dalam ruangan gadis itu. Seseorang pasti telah
mengambilnya!
“Berarti banyak dong diarynya?”
“Setumpuk. Kalo udah penuh disimpen
di dalam lemari.”
Ya. Lemari itu sudah kosong saat
Ray memeriksanya.
Menarik. Sungguh menarik!
“Kamu gak cerita ini ke polisi?”
tanya Ray.
“Ngapain harus cerita?”
“Siapa tau bisa jadi petunjuk baru.”
“Petunjuk baru apaan?”
“Kali-kali aja dia nulis apa gitu di diary yang bisa jadi petunjuk baru….,”
“Iya petunjuk apa? Ih kamu gak jelas deh,” tukas Ayla sambil cemberut.
Bagaimana mungkin Ray menjelaskan
tentang kriminalitas kepada Ayla? Gadis
polos itu sendiri sudah yakin bahwa sahabatnya bunuh diri.
Akhirnya Ray hanya bisa mengubah
arah pembicaraan.